Dari Yogyakarta Menuju Jakarta: Catatan Pesepeda Antarkota-Antarprovinsi

Perjalanan sepeda yogyakarta ke jakarta




 
Sore itu, di tengah candaan bapak-bapak muda yang baru saja membeli onderdil sepeda kesayangannya secara sembunyi-sembunyi karena takut dimarahi oleh sang istri, saya menemui Adul. Dia merupakan pesepeda yang beberapa bulan lalu menempuh jarak sekitar 549 kilometer dari Yogyakarta menuju Jakarta.
 
Selama lima hari, Adul bersama kawannya yang bernama Agung (sayang sekali sore itu saya tidak bertemu dengannya) menelusuri jalur sepanjang Pantai Selatan. 
 
Adul sendiri adalah seorang mahasiswa Seni Kriya di Universitas Negeri Yogyakarta. Saya sempat mengira kegemarannya bersepeda disebabkan oleh tren gowes yang menguat selama pandemi ini. Ternyata saya keliru. Dia sudah bergelut dengan hobinya itu semenjak tahun 2009–2010. Jauh sebelum istilah klise para pejabat “berkerumun tidak apa-apa asal jaga protokol kesehatan” terkenal.
 
Saat di Yogyakarta sedang populer sepeda Fixed-gear, Adul sudah menjadi bagian dari rombongan itu. Hobinya bersepeda memang sempat surut. Namun, pada akhir tahun 2018 dia memulainya kembali. Kali ini Adul lebih tertarik dengan Vintage Road Bike. Sepeda macam inilah yang pada tanggal 18 November kemarin mengantarkan Adul menuju Jakarta.
 
Cerita mengenai individu atau serombongan orang yang melakukan perjalanan jauh bukanlah hal baru. Kita bisa menemukan ratusan hal serupa di internet. Dari perjalanan ke Barat yang dilakukan oleh pendeta Tong bersama ketiga muridnya sampai kunjungan Ibnu Batutah ke berbagai pelosok dunia pada Abad Pertegahan.
 
Meskipun demikian, saya tetap tertarik untuk mengikuti cerita Adul. Saya yakin ada bagian-bagian tertentu dalam ceritanya yang unik dan personal yang tidak akan kita temukan dalam cerita lain. Sebab, pengalaman seseorang tidak akan pernah terwakilkan—apalagi tergantikan.




Berbekal Doa Ibu 

Semua bermula ketika Adul melontarkan pertanyaan iseng kepada Agung yang saat itu baru saja menyelesaikan perjalanan bersepedanya dari Yogyakarta menuju Bandung. Dengan iseng Adul bertanya kepada Agung: “Gung, besok lagi kamu masih berani melakukan perjalanan jauh? Tapi rutenya sampai Jakarta.” Pertanyaan itu lantas dijawab secara singkat oleh Agung: “Kenapa tidak?”
Keisengan Adul berubah menjadi hal yang serius. Tidak terpikirkan dalam benaknya bahwa dalam beberapa hari ke depan dia akan melakukan perjalanan jauh. Sebab, semenjak tahun 2019, perjalanan terjauhnya menggunakan sepeda hanya sampai kota sebelah. 

Mereka berdua lantas menentukan waktu keberangkatan. Setelah sepakat, Adul mempersiapkan sepeda yang hendak dia gunakan untuk menempuh perjalanan itu. Dari sepeda harian Adul merubahnya untuk kebutuhan perjalanan jarak jauh. Beberapa bagian sepeda dia ganti seperti crankset, velg, ban, dan stang. Dia juga menambahkan tas pada bagian belakang sepeda untuk menampung segala keperluannya selama perjalanan. Adul mengeluarkan dana sekitar 4.5 juta untuk itu semua. Sementara untuk kebutuhan pribadinya, Adul mengeluarkan dana sekitar 1.2 juta.

 


 

 

Adul sempat tidak diperbolehkan melakukan perjalanan dari Yogyakarta menuju Jakarta oleh sang ibu. Alasannya tentu saja karena faktor keselamatan serta jarak tempuh yang jauh. Namun, pada akhirnya dia berhasil meyakinkan sang ibu. Adul menyampaikan kepada ibunya bahwa dia dan kawannya akan menempuh perjalanan secara santai. Jika lelah, mereka berdua akan beristirahat. Apabila masuk waktu malam, mereka tidak akan melanjutkan perjalanan dan menggunakan waktunya untuk beristirahat total. Mereka juga tidak akan terburu-buru selama perjalanan karena tidak sedang dikejar oleh waktu. Selain ongkos dan kawan, bagi Adul hal lain yang tak kalah penting selama perjalanan ialah doa dan restu dari sang ibu.


Keampuhan Silaturahmi

Adul dan Agung memulai perjalanan dari Yogyakarta menuju Jakarta pada pukul lima pagi, hari kamis tanggal 18 November 2021. Mereka berdua ditemani oleh tiga orang kawan dari titik keberangkatan sampai NYIA (New Yogyakarta International Airport). Setelah itu, mereka melanjutkan perjalanan berdua saja.

 


 


Pemberhentian pertama berada di kota Banyumas. Seusai menempuh perjalanan selama 17 jam Adul dan Agung beristirahat di sebuah penginapan. Sampai di sini semuanya berjalan lancar. Mereka tidak menemukan kendala apapun. Meski demikian, Adul sempat memiliki keinginan untuk membatalkan niatnya bersepeda ketika sampai di jalan Daendels. Jalan yang terletak di sepanjang pesisir selatan pulau Jawa ini memang memiliki rute lurus yang membosankan. Selain itu, jalan ini juga dikenal berbahaya karena sering membuat banyak pengendara terlena. Terutama ketika malam hari karena kurangnya penerangan. Tidak jarang saya mendapat kabar bahwa beberapa kenalan mengalami musibah di tempat ini.


Adul dan Agung melewati jalan Daendels pada pukul sepuluh pagi ketika matahari mulai memanas. Waktu itu tidak ada mendung sama sekali, apalagi hujan. Mereka berdua juga kesulitan menemukan tempat untuk berteduh. Adul memiliki keinginan untuk pulang ke Yogyakarta. Namun, dia memikirkan kembali niatannya karena beberapa teman sudah mengetahui rencana perjalanan itu. Bahkan sebagian dari mereka yang memiliki usaha turut memberikan dukungan kepadanya dalam bentuk barang.


“Masak iya sudah direncanakan sampai sejauh ini mau menyerah begitu saja?” 

Kata Adul kepada saya. Adul dan Agung kemudian melanjutkan perjalanannya menuju Tasikmalaya setelah beristirahat semalam di Banyumas. Di sana, mereka menginap di tempat seorang kawan yang kebetulan juga pesepeda.


Dari Tasikmalaya perjalanan berlanjut menuju Bandung. Tidak berbeda dengan kota sebelumnya, di kota ini mereka berdua juga menginap di tempat seorang kawan yang kemudian disambung dengan agenda menemui kawan-kawan pesepeda lainnya. Selama dua malam, bersama dengan kawan-kawannya Adul dan Agung menjelajahi kota Bandung. Setelah dari Bandung, mereka melanjutkan perjalanannya menuju Bogor. Di kota ini lagi-lagi mereka menginap di tempat seorang kawan.
 

Sampai di sini saya jadi paham mengapa silaturahmi adalah hal yang penting. 

Bisa jadi kedua pesepeda itu bakal mengalami kesulitan lebih banyak andaikan mereka tidak memiliki banyak kawan di setiap kota yang mereka singgahi. Adul sendiri menyampaikan kepada saya bahwa perjalannya tidak mungkin berjalan dengan lancar tanpa bantuan dari kawan-kawannya. Baik mereka yang menyediakan tempat untuk menginap maupun mereka yang menyediakan bantuan dalam bentuk lain.

 


 


Seperti kata Yuval Noah Harari dalam Sapiens, a Brief History of Humankind, manusia dalam tingkat individu memang tidak memiliki pengaruh signifikan. Akan tetapi apabila berkumpul dan bekerja sama, keberadaan mereka mampu membentuk sejarah. Jika diringkas dalam satu kalimat, pada dasarnya perjalanan Adul dan Agung adalah perjalanan mengunjungi kawan-kawan mereka atau yang dalam bahasa Jawa kita kenal dengan istilah srawung. Sebab, sesampainya di Jakarta mereka berdua melanjutkan silaturahmi dengan mengunjungi beberapa bengkel sepeda yang ada di sana mulai dari Berkah Jaya, Sedulur Sepeda, House of Rising Sun, dan Binatang Press.


Pengalaman dan Pemahaman Baru


Perjalanan bersepeda dari satu kota ke kota lain memberikan Adul pengalaman serta pemahaman baru mengenai kegiatan bersepeda itu sendiri. Sebagai contoh, kegiatan bersepeda yang dilakukan di Jakarta menurutnya lebih berpeluang menghasilkan cuan daripada di kota-kota lain. Di kota ini, peluang untuk menghasilkan uang lebih besar meskipun tekanan sosialnya tak kalah besar.

 


 


Walaupun begitu, destinasi bersepeda di Jakarta jarak tempuhnya lebih jauh karena di sana lanskap urban lebih mendominasi. Hal ini berbeda dengan di Yogyakarta yang destinasi bersepedanya lebih variatif dan aksesnya lebih dekat. Selain itu, perjalanan ini juga membantu Adul mengenali dirinya. 

“Selama perjalanan kita melewati banyak daerah dan bertemu banyak orang. Sepulang dari bersepeda saya jadi lebih bisa menghargai hal-hal kecil ketika sedang berada di jalan.” 

 

Begitu kata Adul. Pengalaman lain yang tak kalah penting adalah fakta bahwa menempuh perjalanan jauh menggunakan sepeda ternyata dapat menunjukkan watak asli seseorang. Seperti saat mendaki gunung, karakter seseorang akan terlihat ketika dia melakukan perjalanan jauh. Mereka yang pemalas biasanya lebih mudah mengeluh selama perjalanan. Sebaliknya, mereka yang memiliki semangat tinggi tidak akan menyusahkan selama perjalanan. 

Adul beruntung kawannya itu berbagi pandangan yang sama dengan dirinya sehingga dia tidak mendapatkan banyak kesulitan. Bersepeda, bagi laki-laki kelahiran Yogyakarta ini, tidak hanya menyehatkan tetapi juga sarana untuk menambah kawan, mempelajari hal-hal baru, dan memperoleh pekerjaan.

Words by : Inan
Photo & Highlight : Adhul, illustrator & pesepeda asal Gunung Kidul, Yogyakarta.

Contributors: Ismawadi Utomo / Sharkies / Feed The Needs


Comments

(1)
  1. hidup srawung..., dilarang waferan,, hehe, banyak sedulor

    ReplyDelete

Post a Comment